Islamisasi Ilmu Pengetahuan
A. Pendahuluan
“Science without Religion is blind, and Religion without science is lame”, Demikian kata-kata yang dikutip dari seorang ilmuwan besar, Albert Enstein. Hal ini menunjukan pentingnya hubungan antara ilmu dan agama. Dalam islam pun demikian, ilmu adalah salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman akan semakin menguat dan bertambah jika diiringi dan disertai dengan ilmu pengetahuan.
Ditinjau dari sumber-sumber sejarah, Umat Islam pernah menguasai sebagian besar wilayah di dunia dan mendirikan sebuah peradaban tinggi yang tak tertandingi pada masanya. Hal ini ditandai dengan adanya revolusi ilmiah secara besar-besaran di dunia Islam. Ilmuwan Islam pun bermunculan dalam berbagai disiplin pengetahuan, baik agama maupun non-agama. Tidak hanya fiqih dan teologi, tetapi juga dalam bidang filsafat, matematika, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya.
Namun kegemilangan itu saat ini hanya menjadi artefak peninggalan sejarah. Umat Islam mulai mengalami kemunduran dan kelemahan di berbagai bidang. Dimulai dengan saling berebut kekuasaan, sampai akhirnya terjadi tragedi jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu yang diikuti dengan pengrusakkan pusat-pusat kegiatan ilmiah dan pembantaian secara besar-besaran terhadap para guru dan ilmuwan. Kepahitan ini ditambah lagi dengan kekalahan umat Islam dalam perang Salib III. Umat Islam pun mengalami kemunduran yang serius dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan yang diikuti kekalahan dalam kehidupan intelektual, moral, kultural, budaya, dan ideologi.
Ketika pencerahan terjadi di bumi Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional berkembang pesat di barat. Konsep, penafsiran, dan makna ilmu yang berkembang dipengaruhi oleh sekularisme, utilitarianisme, dan materialisme. Yang pada akhirnya, umat Islam pun terjatuh dalam hegemoni Barat (imperialisme cultural) dan proses ini mengakibatkan esensi peradaban Islam semakin tidak berdaya di tengah kemajuan peradaban Barat yang sekuler.
Pengaruh sekularisme, utilitarianisme dan materialisme telah menjadikan pengetahuan modern menjadi kering dan terpisah dari nilai-nilai tauhid dan teologis. Akibatnya, terjadinya ketidak seimbangan dan ketidaktertiban dalam kehidupan manusia. Di sisi lain, keilmuan islam yang bersinggungan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler oleh umat islam.
Hilangnya kesakralan dalam konsep ilmu Barat serta sikap ‘memisahkan diri’ keilmuan muslim yang menyebabkan terjadinya stagnasi bagi perkembangan keilmuan Islam. Karena itu, muncullah sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat religius dan bernafaskan tauhid yang kemudian dikenal dengan istilah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.
B. Sejarah Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara substansial proses islamisasi ilmu telah terjadi sejak masa Rasulullah SAW. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengislaman Nabi Muhammad SAW terhadap masyarakat Arab pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya dalam kurun waktu 23 tahun.
Pada abad ke-8, pada masa Daulah Bani Abbasiyah terjadilah proses islamisasi ilmu pengetahuan secara besar-besaran. Pada masa itu, telah terjadi penerjemahan karya-karya Persia dan Yunani yang disesuaikan dengan konsep agama islam.
Kemudian pada tahun 30-an, Muhammad Iqbal menegaskan akan perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Karena sadar, ilmu yang dikembangkankan oleh Barat telah bersifat ateistik, sehingga dapat menggoyahkan aqidah, sehingga disarankan agar “mengonversikan ilmu pengetahuan modern”.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan kemudian muncul kembali pada masa Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun 60-an. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976).
Dari gagasan inilah, kemudian muncul Syed M. Naquib al-Attas sebagai proyek “Islamisasi” pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam makalahnya yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education” ide islamisasi keilmuan itu diperkenalkan, kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980).
Menurut al-Attas, “Ilmu Pengetahuan” yang ada saat ini adalah produk dari kebingungan skeptisme yang meletakkan keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi “ilmiah” yang kemudian menjadikannya sebagai alat epistemologi yang valid dalam mencari kebenaran. Selain itu, ilmu pengetahuan modern, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan, dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban Barat. Jika pemahaman ini merasuk ke dalam pikiran elite terdidik umat Islam, maka akan sangat berperan timbulnya sebuah fenomena berbahaya yang diidentifikasikan oleh al-Attas sebagai “deislamisasi pikiran-pikiran umat Islam”. Oleh karena itulah, sebagai bentuk keprihatinannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan ia mengajukan gagasan tentang “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini” serta memberikan formulasi awal yang sistematis yang merupakan prestasi inovatif dalam pemikiran Islam modern.
Dari beberapa paparan di atas, dapat sisimpulkan bahwa, secara historis, proses islamisasi ilmu telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu sendiri, yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga sekarang, dengan bentuk, metode dan ruang lingkupnya sendiri-sendiri.
C. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Kata “islamisasi” dinisbatkan kepada agama Islam yaitu agama melalui wahyu Allah. Ilmu ialah persepsi, konsep, bentuk sesuatu perkara atau benda. Ia juga suatu proses penjelasan, penyataan dan keputusan dalam pembentukan mental. Islamisasi ilmu berarti hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan yaitu hubungan antara “Kitab Wahyu” al-Quran dan al-Sunnah dengan “kitab Wujud” dan ilmu kemanusiaan. Oleh karena itu, islamisasi ilmu ialah aliran yang mengatakan adanya hubungan antara Islam dengan ilmu kemanusiaan dan menolak golongan yang menjadikan realitas dan alam semesta sebagai satu-satunya sumber bagi ilmu pengetahuan manusia.
Dalam bahasa Arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-Ma’rifat” ( Islamization of Knowledge). Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antara etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma’ (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, termasuk dalam masalah keilmuan.
Selain dari pada itu, ketika mendengar istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan, ada sebuah kesan bahwa ada sebagian ilmu yang tidak Islam sehingga perlu untuk diislamkan. Dan untuk mengislamkannya maka diberikanlah kepada ilmu-ilmu tersebut dengan label “Islam” sehingga kemudian muncullah istilah-istilah ekonomi Islam, kimia Islam, fisika Islam dan sebagainya.
Dengan berbagai pandangan dan pemaknaan yang muncul secara beragam, perlu kiranya untuk diungkap dan agar lebih dipahami apa yang dimaksud “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”. Dalam hal ini, pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan ini secara jelas diterangkan oleh al-Attas, seperti yang dikutip oleh Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas yaitu:
… Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa…Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi…
Al-Attas menolak pandangan bahwa Islamisasi ilmu bisa tercapai dengan melabelisasi sains dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya selama “virus”nya masih berada dalam tubuh ilmu itu sendiri sehingga ilmu yang dihasilkan pun jadi mengambang, Islam bukan dan sekulerpun juga bukan. Padahal tujuan dari Islamisasi itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan Islamisasi tersebut akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.
Menurut al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha “untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita.” Dan untuk menuangkan kembali keseluruhan khazanah pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam, bukanlah tugas yang ringan yang harus dihadapi oleh intelektual-intelektual dan pemimipin-pemimpin Islam saat ini. Karena itulah, untuk melandingkan gagasannya tentang Islamisasi ilmu, al-Faruqi meletakan “prinsip tauhid” sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip tauhid ini dikembangkan oleh al-Faruqi menjadi lima macam kesatuan, yaitu (1) Kesatuan Tuhan, (2) Kesatuan ciptaan, (3) Kesatuan kebenaran dan Pengetahuan, (4) Kesatuan kehidupan, dan (5) Kesatuan kemanusiaan.
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang “terlalu” religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya. Sebagai panduan untuk usaha tersebut, al-Faruqi menggariskan satu kerangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka Islamisasi ilmu, tujuan yang dimaksud adalah :
1. Penguasaan disiplin ilmu modern.
2. Penguasaan khazanah arisan Islam.
3. Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern.
4. Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern.
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah.
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, kemudian al-Faruqi menyusun 12 langkah yang harus ditempuh terlebih dahulu, yaitu :
1. Penguasaan disiplin ilmu modern: prinsip, metodologi, masalah, tema dan perkembangannya
2. Survei disiplin ilmu
3. Penguasaan khazanah Islam: ontology
4. Penguasaan khazanah ilmiah Islam: analisis
5. Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
6. Penilaian secara kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di masa kini
7. Penilaian secara kritis terhadap khazanah Islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini
8. Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam
9. Survei permasalahan yang dihadapi manusia
10. Analisis dan sintesis kreatif
11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam
12. Penyebarluasan ilmu yang sudah diislamkan.
Sementara Al-Attas, beliau menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi inteletual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling berkaitan (inter-related characteristics). Kelima prinsip itu adalah :
1. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.
2. Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran.
3. Membenarkan aspek temporal untuk yang memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler.
4. Pembelaan terhadap doktrin humanisme.
5. Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spritual, atau transedental, atau kehiudpan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama atau tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia.
Kelima hal di atas, merupakan prinsip-prinsip utama dalam pengembangan keilmuan di Barat, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Supaya umat Islam terhindar dari prinsip-prinsip yang menjebak di atas, maka ada empat poin yang harus diperhatikan seorang muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, yaitu :
1. Prinsip-prinsip utama Islam sebagai intisari peradaban Islam,
2. Pencapain sejarah kebudayaan Islam sebagai manifestasi ruang dan waktu dari prinsip-prinsip utama Islam,
3. Bagaimaan kebudayaan Islam dibandingkan dan dibedakan dengan kebudayaan lain dari sudut manifestasi dan intisari,
4. Bagaimaan kebudayaan Islam menjadi pilihan yang paling bermanfaat berkaitan dengan masalah-masalah pokok Islam dan non Islam di dunia saat ini.
5. Renungan ini sangat penting, karena apabila kita memperhatikan secara cermat, pengalaman masa lampau serta rencana masa depan menuju satu arah perubahan yang diinginkan, maka harus dimulai dari rumusan sistem pendidikan yang paripurna. Apa yang telah Al-Attas dan Al-Faruqi paparkan, itu merupakan langkah “dasar” untuk bertahannya peradaban Islam.
Dalam beberapa hal, antara al-Attas dengan al-Faruqi mempunyai kesamaan pandangan, seperti pada tataran epistemologi mereka sepakat bahwa ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi terikat (value bound) dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Mereka juga sependapat bahwa ilmu mempunyai tujuan yang sama yang konsepsinya disandarkan pada prinsip metafisika, ontologi, epistemologi dan aksiologi dengan tauhid sebagai kuncinya. Mereka juga meyakini bahwa Allah adalah sumber dari segala ilmu dan mereka sependapat bahwa akar permasalahan yang dihadapi umat Islam saat ini terletak pada sistem pendidikan yang ada, khususnya masalah yang terdapat dalam ilmu kontemporer. Dalam pandangan mereka, ilmu kontemporer atau sains modern telah keluar dari jalur yang seharusnya. Sains modern telah menjadi “virus” yang menyebarkan penyakit yang berbahaya bagi keimanan umat Islam sehingga unsur-unsur buruk yang ada di dalamnya harus dihapus, dianalisa, dan ditafsirkan ulang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.
Walaupun cukup banyak persamaan yang terdapat di antara keduanya, dalam beberapa hal, secara prinsip, mereka berbeda. Untuk mensukseskan proyek Islamisasi, al-Attas lebih menekankan kepada subjek daripada ilmu, yaitu manusia, dengan melakukan pembersihan jiwa dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga dalam proses Islamisasi ilmu tersebut dengan sendirinya akan terjadi transformasi pribadi serta memiliki akal dan rohani yang telah menjadi Islam secara kaffah. Sedangkan al-Faruqi lebih menekankan pada objek Islamisasi yaitu disiplin ilmu itu sendiri. Hal ini mungkin saja menimbulkan masalah, khususnya ketika berusaha untuk merelevansikan Islam terhadap sains modern, karena bisa saja yang terjadi hanyalah proses labelisasi atau ayatisasi semata.
D. Perkembangan Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Lebih dari 30 tahun, jika dihitung dari Seminar Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, berbagai respon pun mulai bermunculan, baik yang mendukung ataupun menolak, usaha untuk merealisasikan pun secara perlahan semakin marak dan beberapa karya yang berkaitan dengan ide Islamisasi mulai bermunculan di dunia Islam.
Walaupun demikian, setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang, Islamisasi ilmu pengetahuan ini dinilai oleh beberapa kalangan belum memberikan hasil yang konkrit dan kontribusi yang berarti bagi umat Islam. Bahkan secara lugas editor American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS) mengakui bahwa meskipun telah diadakan enam kali konferensi mengenai pendidikan Islam, yaitu di Makkah (1977), Islamabad (1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1985), dan Amman (1990), dan berdirinya beberapa universitas yang memfokuskan pada Islamisasi pendidikan, namun hingga saat ini, tugas untuk menghasilkan silabus sekolah, buku-buku teks, dan petunjuk yang membantu guru di sekolah belum dilakukan. Dan berdasarkan identifikasi Hanna Djumhana Bastaman, setelah cukup lama berkembang, Islamisasi melahirkan beberapa bentuk pola pemikiran, mulai dari bentuk yang paling superfisial sampai dengan bentuk yang agak mendasar. Bastaman mengistilahkannya sebagai;
1. Similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep yang berasal dari agama, padahal belum tentu sama;
2. Paralelisasi, yaitu menganggap paralel konsep yang berasal dari sains karena kemiripan konotasinya, tanpa mengidentikkan keduanya;
3. Komplementasi, yaitu antara sains dan agama saling mengisi dan saling memperkuat satu sama lain dengan tetap mempertahankan eksistensinya masing-masing;
4. Komparasi, yaitu membandingkan konsep/teori sains dengan konsep/wawasan agama mengenai gejala-gejala yang sama;
5. Induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi dasar dari teori-teori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara teoritis-abstrak ke arah pemikiran metafisik, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip agama dan al-Quran mengenai hal tersebut; dan
6. Verifikasi, yaitu mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran ayat-ayat al-Quran.
Jika dicermati, keenam pola pemikiran yang diidentifikasi Bastaman di atas, masih menampakkan jurang pemisah antara keduanya, agama yang pada dasarnya bersumber dari keimanan yang bersifat metafisik tidak begitu saja dapat dihubungkan dengan ilmu pengetahuan yang lebih bercorak empirik dan merupakan produk akal dan intelektual manusia. Walau demikian, pola-pola pemikiran tersebut harus tetap dihargai sebagai upaya untuk Islamisasi ilmu pengetahuan.
F. Kesimpulan
Berawal dari sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat ini telah terkontaminasi pemikiran barat sekuler dan cenderung ateistik yang berakibat hilangnya nilai-nilai religiusitas dan aspek kesakralannya. Di sisi lain, keilmuan Islam yang dipandang bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Menyebabkan munculnya sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan diantara keduanya sehingga ilmu yang dihasilkan bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.
Dalam beberapa hal, para pendukung Islamisasi belum mempunyai kata sepakat yang jelas baik dalam langkah-langkah yang harus dilakukan maupun ilmu pengetahuan yang harus di Islamisasi, tetapi itu bukan dijadikan alasan untuk menghentikan kegiatan ini. Walaupun banyak yang menentang gagasan Islamisasi tetapi mereka belum mempunyai argumen yang kuat untuk menafikannya. Mereka berpandangan semua ilmu itu berasal dari Allah SWT dan dengan sendirinya telah menjadi Islam, karena itu tidak perlu diislamkan lagi. Tapi bukankah seluruh umat manusia di dunia juga ciptaan Allah SWT tetapi tidak lantas semuanya menjadi baik dan juga tidak semuanya beragama Islam. Begitu juga dengan ilmu, pada dasarnya ia adalah baik tetapi ketika masuk ke wilayah rasional banyak pengaruh yang bisa menyesatkannya karena seorang ilmuwan biasanya bekerja sesuai dengan framework yang dimilikinya. Jika ia seorang sekuler maka ilmu yang dihasilkannya pun biasanya ikut menjadi sekuler, sehingga wajar jika Adul Salam menolak gagasan Islamisasi dan menolak adanya sains Islam, ia menceraikan pandangan Islam menjadi dasar metafisis kepada sains, karena ia merupakan produk dari pemikiran Barat yang sekuler.
Pada intinya bahwa islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan untuk memperoleh kesepakatan baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat secular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan. Islamisasi ilmu merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu diteruskan oleh umat Islam kontemporer dari generasi ke generasi, guna menjawab krisis epistimologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tetapi juga budaya dan peradaban Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka, 1984.
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

0 Responses to " "

Pages

@suryacinta. Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Our Partners

Categories

Resources

Bookmarks

Bintang Sahara

Semua lebih berarti, apabila dihayati.