Satu Hari Saat Aku Bersamamu (Bag. I)

Written by Siti Lailatul Hajar (Bintang Sahara) on Minggu, 03 Februari 2013 at 22.04


SATU

Tahun ini genap sudah 10 tahun aku berada di peratauan ini. Keluar dari rumah, meninggalkan kampung halaman untuk mendapatkan pengalaman dan ilmu pengetahuan. Waktu yang lama tapi juga sangat singkat. Lama apabila digunakan untuk belajar, namun sangat singkat apabila hanya digunakan untuk bermain-main. Kini usiaku 24 tahun, artinya sekitar 14 tahun yang lalu aku mulai menginjakkan kakiku di sini. Sangat muda. Tepatnya sangat belia untuk ukuran seorang perantauan.
Pulau Jawa, begitulah kami di kampung menyebutnya. Karena di kampung kami jarang sekali yang mengetahui seluk beluk daerah Jawa. Hanya tahunya Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat saja. Kota-kota besar dan kecilnya mungkin sering didengar, tapi kadang masih lupa Bandung itu di Jawa mana, Jogja itu di Jawa mana, dan Surabaya itu di Jawa mana. Jadinya, di kampungku semuanya hanya tahu kalau aku selama 10 tahun ini berada di Jawa meskipun tidak tahu tepatnya di mana.
Mula memasuki Jawa tujuanku adalah nyantri di pondok pesantren. Sempat bingung pesantren mana yang akan kujadikan tempat nyantri, semua pondok di Jawa bagus-bagus. Apalagi bila dibandingkan dengan pesantren di kampungku. Wah, sangat jauh bedanya. Bagaikan langit dan bumi. Sehingga keadaan yang demikian membuat penduduk di kampungku beranggapan bahwa kalau nyantri di Jawa nanti kalau kembali pasti hebat ceramah.
Di kampungku orang hanya tahunya di pesantren itu diajari ceramah. Jadi kalau pulang ke kampung pada waktu puasa dan menjelang hari raya Idul Fithri, pasti langganan ceramah tiap malam dan setelah sholat subuh. Aku senang dengan sambutan mereka, tapi kalau melimpahkan semuanya kepadaku pastilah aku tidak sanggup. Sebenarnya bukan tidak sanggup, hanya saja tidak nyaman dengan tetuah kampung yang biasanya bertugas.
Bila di suruh mengimami sholat, aku selalu mempersilahkan imam masjid yang sebenarnya. Aku takut dianggap sok pintar, sok alim dan sok tau segalanya. Padahal ilmuku hanya di ujung pena. Tapi, ya sudahlah. Aku menganggapnya sebagai pengamalan dari ilmu yang kudapatkan. Setidaknya aku berbagi dan menjelaskan sesuatu yang aku pernah belajar. Namun, apabila ada pertanyaan yang sangat sulit untuk kujawab, aku selalu berkata “Maaf, saya belum belajar tentang itu. Coba nanti saya lihat dibuku dan saya tanyakan ke ustadz saya”.
Tapi, namanya juga masyarakat umum. Mereka kadang bertanya aneh-aneh dan sangat sulit untuk dijawab, sementara aku belum cukup berpengalaman dalam hal tersebut. Jadinya, terkadang aku meminta maaf aapabila aku tidak mampu menjawabnya. Malu sebenarnya. Namun, daripada aku menjawab sekenanya dan kemudian salah, lebih baik aku menjawab tidak tahu.
Tamat dari pesantren sebenarnya aku ingin langsung kembali ke rumah, kampung halamanku. Setidaknya bisa melepas kerinduan kepada keluarga yang lama aku tinggalkan. Tapi kata orang, kalau hanya tamatan SMA/Aliyah susah nanti cari kerja. Mulailah aku bingung, mau ambil jurusan apa yang nanti sekiranya bisa untuk mencari kerja namun juga tetap dapat belajar agama untuk memenuhi rasa haus orang-orang di kampungku tentang agama.
Perjalanan nyantri di pondok pesantren tidak terlampau lama, tapi sangat memberi kesan. Kata orang, masa SMA itu masa pencarian jati diri. Masa berani mencoba, jatuh cinta, first kiss, tawuran antar pelajar sampai pada mencoba bagaimana rasanya obat-obatan. Tapi syukurlah, aku dapat melewatinya tanpa terjerumus ke dalam coba-coba itu. Tidak apa-apalah dikatakan kolot karena tidak pernah mengenalnya sama sekali. Karena bagiku, tidak semua hal harus dicoba, termasuk hal-hal di atas.
Dengan seragam batik sekolah dan peci di kepala, aku ingin menegaskan bahwa aku anak Indonesia yang mempunyai akhlak mulia. Meskipun banyak juga yang menggunakan peci sebagai tameng agar dikatakan saleh. Sejak diakuinya batik sebagai salah satu kebudayaan Indonesia, aku tidak lagi menyembunyikan seragam batik lusuhku di balik jacket atau sweeter. Kini aku sangat bangga meskipun batik ini relatif sudah tidak layak pakai. Maklum ini adalah warisan dari kakak kelas, sudah enam tahun dipakai.
Aku memang suka membaca sejak kecil. Bukan karena semboyan buku adalah jendela dunia saja, tapi membaca bagiku adalah kewajiban seorang penuntut ilmu. Buku adalah ilmu dan pengetahuan yang diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Mereka telah menemukan banyak hal, menciptakan banyak hal dan kita harus bisa mengambil semangat itu. Dan kini kewajiban mereka telah selesai, berganti kewajiban kita untuk mengabdi dan memberi sesuatu kepada zaman yang kita hidup di dalamnya.
Aku suka membaca sastra. Membaca sastra bagiku bukan sekedar kegiata membaca, tapi keberpihakan. Dengan membaca sastra perlahan aku belajar membentuk diri dari beberapa tokoh yang ada di dalamnya. Dan aku pun bebas mau menjadi tokoh utama atau sekedar piguran. Hidup itu soal pilihan dan keberpihakan. Hitam dan putih harus selalu seiring sejalan dalam kehidupan.
Sastra juga mengajariku berlaku lembut, tapi bukan berarti kemayu dan cengeng. Sastra mengajariku bagaimana menjadi seseorang yang dicintai orang banyak, setidaknya tidak terlalu banyak yang membenci. Bahkan, aku ingin sekali ada yang menceritakan diriku ke dalam sebuah cerita sastra. Menceritakan kehidupanku.
***

Bersambung..

0 Responses to "Satu Hari Saat Aku Bersamamu (Bag. I)"

Pages

@suryacinta. Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Our Partners

Categories

Resources

Bookmarks

Bintang Sahara

Semua lebih berarti, apabila dihayati.