BAGIAN KETIGA
“Huff...”
Akhirnya, aku mendapatkan juga tempat duduk. Zaman sekarang, naik kereta
ekonomi mendapatkan tempat duduk untung-untungan. Apalagi pada hari-hari
tertentu, kalau tidak berdiri sampai tujuan, ya..tidur di antara gerbong.
Resiko sebenarnya, tapi demi kenyamanan dalam perjalanan kata resiko kadang
masuk urutan ke 116.
Stasiun
Kota Baru, Malang. Kebanyakan orang mengenal Malang sebagai kota Apel atau kota
wisata saja. Semenjak dibangunnya beberapa bangunan megah dan geliat ndustri
pariwisata, kota ini semakin dikenal di seluruh tanah air. Banyak yang
menjadwalkan rute travel wisatanya menuju kota ini.
Kehadiran
dua Mega Mall, Malang Town Square (MATOS), Malang Olimpic Garden (MOG) kian
membuktikan bahwa kota Malang saat ini tidak mau kalah dalam bersaing dengan
ibukota Jawa Timur, Surabaya dalam hal pusat perbelanjaan. Belum lagi ditambah
dengan keberadaan Batu Night Spectaculer (BNS), Jatim Park, dan wisata alam
yang masih sangat alami membuat kota ini semakin menjadi tempat pavorit untuk
menjadikannya tempat libuan.
Namun
sayang, geliat industri pariwisata itu tidak terlalu berimbas pada ekonomi masyarakatnya.
Masyarakat kota Malang hanya kebagian bangga saja memiliki kota mereka. Masyarakat
setempat lebih banyak yang mengandalkan mata pencaharian berdagang atau
menyewakan rumah dan kos-kosan. Terlebih, sejak Malang diresmikan sebagai Kota
Pendidikan, peminat kampus di Kota Malang pun kiat meningkat.
Dalam
hal berdagangpun mereka perlahan-lahan dijajah oleh pasar yang lebih
menjanjikan. Toko-toko kecil yang mereka buka di depan rumah mereka kini sudah
kalah dengan mini market yang lebih menjanjikan, lebih bersaing, lebih lengkap
dan tentu saja dengan promo yang menggiurkan. Jadilah toko-toko mereka sepi
pengunjung dengan pendapatan kian hari kian berkurang saja.
Aku
meletakkan barang bawaanku di bawah bangku kereta yang aku duduki. Kulihat
seorang ibu tengah mengipasi anaknya yang sedang tidur sambil sesekali menyeka
keringat di kening anaknya.
“Nyuwun
sewu”, Aku membungkuk sambil tersenyum.
“Inggih,
monggo..monggo”, ia juga mengangguk sambil memberi senyum.
Aku
duduk di dekat jendela. Setidaknya selain mendapat angin nanti juga bisa
melihat pemandangan saat keretanya sudah berjalan.
Aku
letih sekali. Dari tadi malam mataku belum aku istirahatkan barang semenitpun. Karena
ini merupakan kepulangan setelah merantau yang lama, jadi banyak teman yang datang
ke tempatku untuk memberikan ucapan selamat jalan dan memberikan beberapa
hadiah sebagai kenang-kenangan.
Kultur
masyarakat Malang orangnya sangat ramah, tidak individualis dan setia kawan. 7
Tahun aku di kota ini, semua orang yang aku temui sangat memberi hormat kepada
pendatang. Aku merasa nyaman bahkan sudah menganggap kota ini sebagai rumah
kedua bagiku. Aku merasa seperti mendapat keluarga baru bersama teman-teman di
sini.
7
tahun cukup bagiku untuk mengetahui sudut-sudut di kota ini. Bahkan setiap
incinya aku sangat hafal. Ibaratnya, jika aku ditutup mata lalu diletakkan di
sembarang tempat di kota ini, aku pasti tahu jalan untuk kembali ke tempatku.
Kuncinya satu hal, aku tidak memilih orang untuk kujadikan teman. Semua orang
sebenarnya punya hati yang baik, hanya saja terkadang tertutupi atau kita yang
belum mengenal dekat siapa orang tersebut.
Temanku
banyak, dengan macam-macam hobi dan perangainya. Ada teman ngopi yang hobinya nyangkru’, ada teman futsal, ada teman
yang hobinya baca buku, ada teman yang hobinya menulis, ada teman yang setiap
bertemu selalu membicarakan sastra, ada teman pergerakan, ada teman satu
daerah, ada teman yang ketemunya hanya di kantin, dan banyak lagi. Satu hal
yang aku kagumi, mereka begitu menikmati hidup mereka.
Terkadang
tanpa sadar aku mendapati kata-kata yang membuatku begitu kagum bukan dari
temanku yang suka baca atau yang suka menulis. Tapi dari temanku yang hobinya
cuma ngopi dan nyangkru’. Meski kuliahnya
ancur, hutang di sana sini, tapi dari mulutnya terkadang tanpa sengaja keluar
kalimat mutiara.
Pernah
suatu ketika temanku yang suka nyangkru’
tersebut nyeletuk, entah dia pikir
dulu atau terucap begitu saja. Dia berkata, “Kadang tidak penting membela siapa
yang salah dan benar, yang penting itu bagaimana kita bersikap kepada yang
mengaku benar dan yang dituduh salah”.
Awalnya
aku tertawa. Entah menertawakan apa, aku juga tidak tahu. Temanku yang biasanya
begitu dalam menyeruput kopi dan menghisap rokoknya itu, ternyata dari bibirnya
yang tebal dan menghitam itu juga bisa keluar kata seajaib itu.
Aku
sangat kritis, terhadap apapun. Tapi, dari satu kalimat tersebut aku sungguh
tidak ingin berkata apa-apa. Diam saja sambil tertawa tanpa sadar. Mengiyakan
perkataannya lalu ikut menyerubut kopi susu manis yang aku pesan.
Lain
lagi dengan teman futsalku. Temanku yang satu ini sangat antusias sekali dengan
sepak bola. Setiap pemain bola ternama dari zaman ayahnya masih muda (dia belum
dilahirkan) sampai saat ini hampir kesemuanya dia hafal. Belum lengkap jika
tidak diikuti dengan sejarah pemain tersebut bermain di klub atau negaranya. Yang
aku pikirkan satu hal, andai saja kepalanya ini diisi dengan Al-Qur’an atau
rumus matematika dan kimia?
Dia
selalu berkomentar setiap ada pertandingan sepak bola baik nasional maupun luar
negeri. Seolah-olah sudah seperti komentator di TV. Hanya saja bedanya temanku
ini sepertinya lebih objektif daripada komentator di televisi. Dia mengatakan,
selama sepak bola Indonesia tidak independen, masih dicampuraduki dengan
politik dan kepentingan, sangat sulit bagi Indonesia untuk mencipta pemain
seperti Ronaldo, Messi atau Jack Wilshire.
Arsenal,
itu klub kebanggaannya. Kalau aku masuk ke kamarnya, aku serasa berada di dunia
lain. Dunia dengan semua hal yang beraroma Arsenal. Dia pernah berkata, bahwa
Arsenal itu keren dibandingkan klub-klub lain. Arsenal bisa mencetak pemain
muda yang sebelumnya tidak punya nama, tidak pernah didengar namanya menjadi
sangat terkenal bahkan bisa menjadi bintang. Masih katanya, meski Arsenal
jarang sekali mendapat titel juara, tapi hampir semua didikan Arsenal menjadi
pemain hebat.
Aku
yang tahu sepak bola kemarin sore hanya manggut-manggut saja mendengar
ceramahnya. Bagiku klub sepak bola sama saja, sama-sama ingin meraih kemenangan
di setiap pertandingan. Aku hanya penonton saja, kalau klub besar yang main,
aku nonton. Tapi, kalau yang bertanding klub kecil, ya..mending tidur. Ngapain
juga sampai begadang menyaksikannya.
Apalagi
saat ini tim sepak bola dalam negeri lebih banyak drama tawurannya. Suporter
klub ini tidak terima karena klubnya kalah lalu saling ejek dengan suporter
lawan dan terjadilah perang batu. Tragis kadang, gara-gara bola nyawa jadi
taruhannya. Dan yang lebih aneh lagi, ada suporter saking kesal karena klubnya
kalah, malah fasilitas stadion yang dirusak.
Ya,
aku hanya berharap, setidaknya suporter bisa semakin dewasa menyikapi apapun
hasil di lapangan. Semua tentu ingin hasil yang terbaik, tapi terkadang memang
sebuah tim harus mengalami sebuah kekalahan untuk dijadikan pelajaran dan
motivasi untuk bangkit.
Bersambung...