SATU
Tahun
ini genap sudah 10 tahun aku berada di peratauan ini. Keluar dari rumah,
meninggalkan kampung halaman untuk mendapatkan pengalaman dan ilmu pengetahuan.
Waktu yang lama tapi juga sangat singkat. Lama apabila digunakan untuk belajar,
namun sangat singkat apabila hanya digunakan untuk bermain-main. Kini usiaku 24
tahun, artinya sekitar 14 tahun yang lalu aku mulai menginjakkan kakiku di
sini. Sangat muda. Tepatnya sangat belia untuk ukuran seorang perantauan.
Pulau
Jawa, begitulah kami di kampung menyebutnya. Karena di kampung kami jarang
sekali yang mengetahui seluk beluk daerah Jawa. Hanya tahunya Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Jawa Barat saja. Kota-kota besar dan kecilnya mungkin sering
didengar, tapi kadang masih lupa Bandung itu di Jawa mana, Jogja itu di Jawa
mana, dan Surabaya itu di Jawa mana. Jadinya, di kampungku semuanya hanya tahu
kalau aku selama 10 tahun ini berada di Jawa meskipun tidak tahu tepatnya di
mana.
Mula
memasuki Jawa tujuanku adalah nyantri di pondok pesantren. Sempat bingung
pesantren mana yang akan kujadikan tempat nyantri, semua pondok di Jawa
bagus-bagus. Apalagi bila dibandingkan dengan pesantren di kampungku. Wah,
sangat jauh bedanya. Bagaikan langit dan bumi. Sehingga keadaan yang demikian
membuat penduduk di kampungku beranggapan bahwa kalau nyantri di Jawa nanti
kalau kembali pasti hebat ceramah.
Di
kampungku orang hanya tahunya di pesantren itu diajari ceramah. Jadi kalau
pulang ke kampung pada waktu puasa dan menjelang hari raya Idul Fithri, pasti
langganan ceramah tiap malam dan setelah sholat subuh. Aku senang dengan
sambutan mereka, tapi kalau melimpahkan semuanya kepadaku pastilah aku tidak
sanggup. Sebenarnya bukan tidak sanggup, hanya saja tidak nyaman dengan tetuah
kampung yang biasanya bertugas.
Bila
di suruh mengimami sholat, aku selalu mempersilahkan imam masjid yang
sebenarnya. Aku takut dianggap sok pintar, sok alim dan sok tau segalanya.
Padahal ilmuku hanya di ujung pena. Tapi, ya sudahlah. Aku menganggapnya
sebagai pengamalan dari ilmu yang kudapatkan. Setidaknya aku berbagi dan
menjelaskan sesuatu yang aku pernah belajar. Namun, apabila ada pertanyaan yang
sangat sulit untuk kujawab, aku selalu berkata “Maaf, saya belum belajar
tentang itu. Coba nanti saya lihat dibuku dan saya tanyakan ke ustadz saya”.
Tapi,
namanya juga masyarakat umum. Mereka kadang bertanya aneh-aneh dan sangat sulit
untuk dijawab, sementara aku belum cukup berpengalaman dalam hal tersebut.
Jadinya, terkadang aku meminta maaf aapabila aku tidak mampu menjawabnya. Malu
sebenarnya. Namun, daripada aku menjawab sekenanya dan kemudian salah, lebih
baik aku menjawab tidak tahu.
Tamat
dari pesantren sebenarnya aku ingin langsung kembali ke rumah, kampung
halamanku. Setidaknya bisa melepas kerinduan kepada keluarga yang lama aku
tinggalkan. Tapi kata orang, kalau hanya tamatan SMA/Aliyah susah nanti cari
kerja. Mulailah aku bingung, mau ambil jurusan apa yang nanti sekiranya bisa
untuk mencari kerja namun juga tetap dapat belajar agama untuk memenuhi rasa
haus orang-orang di kampungku tentang agama.
Perjalanan
nyantri di pondok pesantren tidak terlampau lama, tapi sangat memberi kesan.
Kata orang, masa SMA itu masa pencarian jati diri. Masa berani mencoba, jatuh
cinta, first kiss, tawuran antar pelajar sampai pada mencoba bagaimana rasanya
obat-obatan. Tapi syukurlah, aku dapat melewatinya tanpa terjerumus ke dalam
coba-coba itu. Tidak apa-apalah dikatakan kolot karena tidak pernah mengenalnya
sama sekali. Karena bagiku, tidak semua hal harus dicoba, termasuk hal-hal di
atas.
Dengan
seragam batik sekolah dan peci di kepala, aku ingin menegaskan bahwa aku anak
Indonesia yang mempunyai akhlak mulia. Meskipun banyak juga yang menggunakan
peci sebagai tameng agar dikatakan saleh. Sejak diakuinya batik sebagai salah
satu kebudayaan Indonesia, aku tidak lagi menyembunyikan seragam batik lusuhku
di balik jacket atau sweeter. Kini aku sangat bangga meskipun batik ini relatif
sudah tidak layak pakai. Maklum ini adalah warisan dari kakak kelas, sudah enam
tahun dipakai.
Aku
memang suka membaca sejak kecil. Bukan karena semboyan buku adalah jendela
dunia saja, tapi membaca bagiku adalah kewajiban seorang penuntut ilmu. Buku
adalah ilmu dan pengetahuan yang diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Mereka
telah menemukan banyak hal, menciptakan banyak hal dan kita harus bisa
mengambil semangat itu. Dan kini kewajiban mereka telah selesai, berganti
kewajiban kita untuk mengabdi dan memberi sesuatu kepada zaman yang kita hidup
di dalamnya.
Aku
suka membaca sastra. Membaca sastra bagiku bukan sekedar kegiata membaca, tapi
keberpihakan. Dengan membaca sastra perlahan aku belajar membentuk diri dari
beberapa tokoh yang ada di dalamnya. Dan aku pun bebas mau menjadi tokoh utama
atau sekedar piguran. Hidup itu soal pilihan dan keberpihakan. Hitam dan putih
harus selalu seiring sejalan dalam kehidupan.
Sastra
juga mengajariku berlaku lembut, tapi bukan berarti kemayu dan cengeng. Sastra
mengajariku bagaimana menjadi seseorang yang dicintai orang banyak, setidaknya
tidak terlalu banyak yang membenci. Bahkan, aku ingin sekali ada yang
menceritakan diriku ke dalam sebuah cerita sastra. Menceritakan kehidupanku.
***
Bersambung..
0 Responses to "Satu Hari Saat Aku Bersamamu (Bag. I)"
Posting Komentar