“Priiiiiit.....!!!”
Peluit
kereta telah dibunyikan oleh petugas stasiun. Suara khas klakson kereta pun
menyusul dibunyikan. Perlahan kereta yang aku tumpangipun bergerak melaju.
“Bismillahirrohmanirrohim”,
ucapku dalam hati.
Aku
melihat ke arah jendela. Puluhan orang di stasiun mulai melambaikan tangannya
kepada orang-orang tersayang atau keluarga dan kerabatnya di kereta yang aku
tumpangi.
Aku
suka memperhatikan orang-orang yang di stasiun, bandara atau terminal yang
melepas keluarganya yang hendak bepergian. Ada emosi reflek yang mereka
tampakkan ketika itu. Entah pula kalau ada yang berpura-pura, tapi bagiku itu
seperti drama yang tanpa diedit.
Aku
tersenyum kecil membayangkannya.
Dalam
hati aku terus berucap, “Selamat tinggal Malang. Selamat tinggal teman-teman.
Selamat tinggal semua. Terima kasih untuk semua kenangan yang telah diberikan.”
Aku menutup mataku, menyandarkan kepala di kursi kereta. Berat sekali rasanya.
Tapi kemanapun burung pergi, ia harus kembali ke kumpulannya. Sejauh dan berapa
lama pun aku merantau, aku pastinya nanti akan kembali ke tanah kelahiranku.
Kereta
melaju dengan kencangnya. Sesekali terdengar bunyi ban besi itu beradu dengan
rel. Kerumunan penjual jajanan keliling juga tidak mau kalah berisiknya dengan
suara kereta. Di kereta aku suka mendengarkan pengamen bernyanyi, apalagi lagu
yang memang diciptakan oleh mereka sendiri. Liriknya unik dan menggelitik,
sesekali memberi kritik pada penguasa.
Jika
digambarkan keriuhan saat itu, seperti ini. Penjual camilan berteriak “Kacang,
tisu, permen, rokok!”, disahut lagi di belakangnya penjual minuman “Yang
dingin-yang dingin! Aqua, Fanta, Sprite, Mijon!”, di belakangya lagi penjual
minuman hangat “kopi, susu pop mie..”, dari gerbong sebelah juga sampai
terdengar kesini, penjual nasi berteriak “Nasi ayam, nasi campur, nasi telor
tiga ribu, anget-anget..”.
Nah,
yang ini saja pikirku. Aku membuka mataku, berdiri sejenak sambil menoleh ke
gerbong belakang melihat si penjual nasi. “Ah, masih jauh”, batinku. Aku
kembali duduk sambil mengeluarkan uang pecahan lima ribuan di saku bajuku. Aku
sebenarnya tidak suka berbelanja di kendaraan umum. Tapi sejak tadi pagi dan
sampai kereta berangkat, perutku benar-benar belum terisi apapun.
Akhirnya
penjual yang ditunggu pun datang. Seorang ibu paruh baya dengan lipstik tebal
di bibirnya. “Beli satu bu”, kataku ketika ia menoleh ke arahku.
“Dua
apa satu bang? Masih hangat nasinya bang”, dia coba merayuku.
Sambil
tersenyum, aku menjawab “Satu saja bu”.
Ia
lalu meletakkan jualannya ke lantai dan mengambil satu bungkus nasi kemudian
menyerahkannya padaku. Kuserahkan uang lima ribuan yang sedari tadi aku
genggam. Setelah ia menyerahkan kembaliannya, aku langsung membuka nasi bungus
yang baru saja menjadi milikku tersebut.
Memang
benar kata si ibu penjual, nasinya masih hangat. Ada sepotong ayam kecil
ditambah sedikit mie dan sambal yang mungkin jauh dari kata pedas. Tapi
cukuplah untuk mengganjal perutku yang sedari tadi cacingnya mulai berkoar-koar
di dalam.
Ibu
di depanku lagi tertidur, hanya anaknya yang sedari tadi memperhatikan
gerak-gerikku. Aku coba menawarkan padanya. “Adek mau?”, tanyaku.
Ia
menggeleng, lalu memeluk ibunya. Ibunya yang dipeluk akhirnya terbangun. Aku
menganggukkan kepala menawarkan makan padanya.
“Monggo..mongoo..”
ia menjawab sambil tersenyum.
Setelah
nasi di mulutku habis ku kunyah, aku mencoba untuk berbincang dengannya.
“Turun
di mana, bu?”
“Semarang”,
jawabnya.
“Masnya
sendiri turun mau kemana tujuannya?” Ia kemudian balik bertanya.
“Saya
mau mudik bu, ke Sumatera. Ini nanti mau turun di Senen”, aku jawab sambil
tersenyum dan melanjutkan makanku.
Melihat
aku makan dengan lahapnya, si ibu hanya tersenyum. Aku sangat rindu sosok
ibuku. Sudah lebih dari 3 tahun aku tidak bertemu lagi dengannya. Terakhir aku
pulang, waktu aku masih semester enam. Waktu itu kakekku meninggal dunia.
Sebenarnya oleh bapak aku tidak diperkenankan untuk pulang, tapi aku ngotot
agar aku dapat pulang. “Aku ingin melihat kakek untuk terakhir kalinya”, itu
kata yang aku ucapkan waktu itu agar aku diizinkan pulang oleh bapakku.
Sayang,
pesawat yang aku tumpangi tidak tepat waktu. Aku terbang dari Surabaya menuju
Bengkulu tepat pukul 07.00 WIB. Karena tidak bisa langsung terbang ke Bengkulu,
jadilah aku transit ke bandara Soekarno Hatta-Jakarta. Tepat pukul 08.00 WIB
aku sampai di Jakarta untuk transit pesawat ke Bengkulu, sayang pesawat yang
akan aku tumpangi mengalami penundaan beberapa jam.
Sempat
beberapa kali SMS dan telepon masuk ke handphoneku menanyakan keberadaanku. Dan
akhirnya, pukul 09.15 ayahku menelpon dan memohon agar jenazah kakek segera
dimakamkan karena sudah hampir satu hari satu malam. Akhirnya, aku memohon maaf
kepada semua yang telah mengorbankan waktu menunggu kedatanganku, aku juga
dalam hati memohon maaf kepada kakekku dan tak henti-hentinya berdoa agar ia
diberi kelapangan di alam kubur, diterima semua amal ibadahnya dan diampuni
segala dosa-dosanya. “Aku ikhlas, bapak”, aku berkata sambil menangis.
Kakekku
meninggal karena penyakit yang dideritanya sejak lama. Ada pembengkakan pada
hidungnya yang disebabkan oleh tahi lalat. Semula tahi lalat itu kecil, namun
perlahan membesar. Puncaknya, pada saat kakekku berkunjung ke kediaman
saudaranya di Bekasi, kakekku disarankan oleh saudaranya untuk diperiksa.
Setelah diperiksa, dokter menyarakan untuk dilakukan operasi agar tidak terjadi
pembesaran lebih lanjut.
Sejak
kecil kakekku sangat takut dengan yang namanya medis. Mulai dari dokter,
disuntik sampai minum obat. Maklum saja orang jaman dulu, di kampung cuma
adanya mantri (sekelas dokter), tapi mereka lebih sering menggunakan
obat-obatan tradisional daripada yang modern. Jadi kalau sakit, susah sekali membujuknya
untuk bisa berobat.
Pernah
suatu ketika kakekku sakit. Pada waktu itu ayahku masih bujangan. Dulu, untuk
menjemput dokter harus ke kota. Setelah banyak yang membujuk agar kakek mau
disuntik oleh dokter, akhirnya ayahku disuruh menjemput dokter. Sesampainya
ayahku bersama sang dokter, ternyata kakek sudah kabur dari kamarnya. Semua
yang berada di rumah kontan menertawakan ayahku, menertawakan sang dokter yang
kebingungan, dan juga menertawakan kekonyolan kakekku saking takutnya dengan
yang namanya jarum suntik dan dokter.
Ya,
tidak terasa sudah 3 tahun kakek meninggal. Semua masih sangat jelas dalam
ingatanku. Bagaimana ia selalu bercerita tentang masa kecilnya, masa mudanya
sampai bagaimana ia dan nenek dipertemukan. Meskipun cerita itu selalu
diulang-ulang, aku tidak pernah bosan untuk mendengarkannya. Sesekali aku
tersenyum bahkan tertawa ketika ada bagian yang menggelitik hatiku.
Aku
suka sekali bagian cerita ketika ia tertembak oleh orang Jepang pada zaman
penjajahan. Kakekku dengan bangga memperlihatkan bagian bawah lehernya yang menurutnya
adalah bekas peluru yang bersarang. Dia juga menerangkan dengan bangga
bagaimana ia berhasil membunuh satu orang Jepang pada masa itu. Entah benar
atau tidak ceritanya, tapi aku menemukan satu kebanggaan dalam dirinya ketika
ia menceritakan hal tersebut.
Itu
semua kini tinggal kenangan. Waktu-waktu bersama kakek adalah waktu yang indah
bagiku di waktu kecil. Kakek tidak seperti bapakku, kalau bapak suka marah,
kakek tidak pernah memarahiku. Bapak selalu bertanya alasan ketika aku meminta
uang, kakek tidak. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk sekolah ke Jawa, kakek
juga tetap mendukungku. Sayang, kakek tidak sempat melihatku memakai toga.
Ada bulir yang jatuh pelan-pelan dari mataku. Tidak terasa aku menangis.
Seketika itu juga aku cepat-cepat menghapusnya. Kembali aku mengarahkan
pandanganku ke arah jendela kereta. Senja mulai naik, perlahan matahari jatuh.
Kelap-kelip lampu kini mulai menerangi dunia. Dan malam, akhirnya datang.
0 Responses to "Satu Hari Saat Aku Bersamamu (Bagian IV)"
Posting Komentar