Satu Hari Saat Aku Bersamamu

Written by Siti Lailatul Hajar (Bintang Sahara) on Rabu, 27 Februari 2013 at 21.55


BAGIAN KETIGA

“Huff...” Akhirnya, aku mendapatkan juga tempat duduk. Zaman sekarang, naik kereta ekonomi mendapatkan tempat duduk untung-untungan. Apalagi pada hari-hari tertentu, kalau tidak berdiri sampai tujuan, ya..tidur di antara gerbong. Resiko sebenarnya, tapi demi kenyamanan dalam perjalanan kata resiko kadang masuk urutan ke 116.
Stasiun Kota Baru, Malang. Kebanyakan orang mengenal Malang sebagai kota Apel atau kota wisata saja. Semenjak dibangunnya beberapa bangunan megah dan geliat ndustri pariwisata, kota ini semakin dikenal di seluruh tanah air. Banyak yang menjadwalkan rute travel wisatanya menuju kota ini.
Kehadiran dua Mega Mall, Malang Town Square (MATOS), Malang Olimpic Garden (MOG) kian membuktikan bahwa kota Malang saat ini tidak mau kalah dalam bersaing dengan ibukota Jawa Timur, Surabaya dalam hal pusat perbelanjaan. Belum lagi ditambah dengan keberadaan Batu Night Spectaculer (BNS), Jatim Park, dan wisata alam yang masih sangat alami membuat kota ini semakin menjadi tempat pavorit untuk menjadikannya tempat libuan.
Namun sayang, geliat industri pariwisata itu tidak terlalu berimbas pada ekonomi masyarakatnya. Masyarakat kota Malang hanya kebagian bangga saja memiliki kota mereka. Masyarakat setempat lebih banyak yang mengandalkan mata pencaharian berdagang atau menyewakan rumah dan kos-kosan. Terlebih, sejak Malang diresmikan sebagai Kota Pendidikan, peminat kampus di Kota Malang pun kiat meningkat.
Dalam hal berdagangpun mereka perlahan-lahan dijajah oleh pasar yang lebih menjanjikan. Toko-toko kecil yang mereka buka di depan rumah mereka kini sudah kalah dengan mini market yang lebih menjanjikan, lebih bersaing, lebih lengkap dan tentu saja dengan promo yang menggiurkan. Jadilah toko-toko mereka sepi pengunjung dengan pendapatan kian hari kian berkurang saja.
Aku meletakkan barang bawaanku di bawah bangku kereta yang aku duduki. Kulihat seorang ibu tengah mengipasi anaknya yang sedang tidur sambil sesekali menyeka keringat di kening anaknya.
“Nyuwun sewu”, Aku membungkuk sambil tersenyum.
“Inggih, monggo..monggo”, ia juga mengangguk sambil memberi senyum.
Aku duduk di dekat jendela. Setidaknya selain mendapat angin nanti juga bisa melihat pemandangan saat keretanya sudah berjalan.
Aku letih sekali. Dari tadi malam mataku belum aku istirahatkan barang semenitpun. Karena ini merupakan kepulangan setelah merantau yang lama, jadi banyak teman yang datang ke tempatku untuk memberikan ucapan selamat jalan dan memberikan beberapa hadiah sebagai kenang-kenangan.
Kultur masyarakat Malang orangnya sangat ramah, tidak individualis dan setia kawan. 7 Tahun aku di kota ini, semua orang yang aku temui sangat memberi hormat kepada pendatang. Aku merasa nyaman bahkan sudah menganggap kota ini sebagai rumah kedua bagiku. Aku merasa seperti mendapat keluarga baru bersama teman-teman di sini.
7 tahun cukup bagiku untuk mengetahui sudut-sudut di kota ini. Bahkan setiap incinya aku sangat hafal. Ibaratnya, jika aku ditutup mata lalu diletakkan di sembarang tempat di kota ini, aku pasti tahu jalan untuk kembali ke tempatku. Kuncinya satu hal, aku tidak memilih orang untuk kujadikan teman. Semua orang sebenarnya punya hati yang baik, hanya saja terkadang tertutupi atau kita yang belum mengenal dekat siapa orang tersebut.
Temanku banyak, dengan macam-macam hobi dan perangainya. Ada teman ngopi yang hobinya nyangkru’, ada teman futsal, ada teman yang hobinya baca buku, ada teman yang hobinya menulis, ada teman yang setiap bertemu selalu membicarakan sastra, ada teman pergerakan, ada teman satu daerah, ada teman yang ketemunya hanya di kantin, dan banyak lagi. Satu hal yang aku kagumi, mereka begitu menikmati hidup mereka.
Terkadang tanpa sadar aku mendapati kata-kata yang membuatku begitu kagum bukan dari temanku yang suka baca atau yang suka menulis. Tapi dari temanku yang hobinya cuma ngopi dan nyangkru’. Meski kuliahnya ancur, hutang di sana sini, tapi dari mulutnya terkadang tanpa sengaja keluar kalimat mutiara.
Pernah suatu ketika temanku yang suka nyangkru’ tersebut nyeletuk, entah dia pikir dulu atau terucap begitu saja. Dia berkata, “Kadang tidak penting membela siapa yang salah dan benar, yang penting itu bagaimana kita bersikap kepada yang mengaku benar dan yang dituduh salah”.
Awalnya aku tertawa. Entah menertawakan apa, aku juga tidak tahu. Temanku yang biasanya begitu dalam menyeruput kopi dan menghisap rokoknya itu, ternyata dari bibirnya yang tebal dan menghitam itu juga bisa keluar kata seajaib itu.
Aku sangat kritis, terhadap apapun. Tapi, dari satu kalimat tersebut aku sungguh tidak ingin berkata apa-apa. Diam saja sambil tertawa tanpa sadar. Mengiyakan perkataannya lalu ikut menyerubut kopi susu manis yang aku pesan.
Lain lagi dengan teman futsalku. Temanku yang satu ini sangat antusias sekali dengan sepak bola. Setiap pemain bola ternama dari zaman ayahnya masih muda (dia belum dilahirkan) sampai saat ini hampir kesemuanya dia hafal. Belum lengkap jika tidak diikuti dengan sejarah pemain tersebut bermain di klub atau negaranya. Yang aku pikirkan satu hal, andai saja kepalanya ini diisi dengan Al-Qur’an atau rumus matematika dan kimia?
Dia selalu berkomentar setiap ada pertandingan sepak bola baik nasional maupun luar negeri. Seolah-olah sudah seperti komentator di TV. Hanya saja bedanya temanku ini sepertinya lebih objektif daripada komentator di televisi. Dia mengatakan, selama sepak bola Indonesia tidak independen, masih dicampuraduki dengan politik dan kepentingan, sangat sulit bagi Indonesia untuk mencipta pemain seperti Ronaldo, Messi atau Jack Wilshire.
Arsenal, itu klub kebanggaannya. Kalau aku masuk ke kamarnya, aku serasa berada di dunia lain. Dunia dengan semua hal yang beraroma Arsenal. Dia pernah berkata, bahwa Arsenal itu keren dibandingkan klub-klub lain. Arsenal bisa mencetak pemain muda yang sebelumnya tidak punya nama, tidak pernah didengar namanya menjadi sangat terkenal bahkan bisa menjadi bintang. Masih katanya, meski Arsenal jarang sekali mendapat titel juara, tapi hampir semua didikan Arsenal menjadi pemain hebat.
Aku yang tahu sepak bola kemarin sore hanya manggut-manggut saja mendengar ceramahnya. Bagiku klub sepak bola sama saja, sama-sama ingin meraih kemenangan di setiap pertandingan. Aku hanya penonton saja, kalau klub besar yang main, aku nonton. Tapi, kalau yang bertanding klub kecil, ya..mending tidur. Ngapain juga sampai begadang menyaksikannya.
Apalagi saat ini tim sepak bola dalam negeri lebih banyak drama tawurannya. Suporter klub ini tidak terima karena klubnya kalah lalu saling ejek dengan suporter lawan dan terjadilah perang batu. Tragis kadang, gara-gara bola nyawa jadi taruhannya. Dan yang lebih aneh lagi, ada suporter saking kesal karena klubnya kalah, malah fasilitas stadion yang dirusak.
Ya, aku hanya berharap, setidaknya suporter bisa semakin dewasa menyikapi apapun hasil di lapangan. Semua tentu ingin hasil yang terbaik, tapi terkadang memang sebuah tim harus mengalami sebuah kekalahan untuk dijadikan pelajaran dan motivasi untuk bangkit.

Bersambung...

Satu Hari Saat Aku Bersamamu

Written by Siti Lailatul Hajar (Bintang Sahara) on Senin, 11 Februari 2013 at 09.36


BAGIAN KEDUA

Ada dua hal yang tidak pernah seorang pun dapat menebak misterinya, bagaimana ia bisa jatuh cinta dan bagaimana cinta itu ia temukan pada akhirnya. Cinta bisa tiba-tiba datang dan pergi pun dengan sangat tiba-tiba. Kehadirannya yang diminta kadang tidak muncul, namun ketika diabaikan ia malah datang menghampiri. Cinta yang dijaga dengan sekuat hati dalam genggaman kadang terlepas,  namun cinta yang biasa kadang menjadi luar biasa dan bertahan sampai ajal yang menjadi pemisah.
Cinta malah semakin tak bisa dilogika saat ia datang menghampiri. Ada seseorang yang jatuh cinta hanya karena sering mendengar suara orang yang dicintainya. Ada yang jatuh cinta karena ia pernah melihat seseorang yang dicintainya membuang sampah atau melakukan sesuatu yang baginya sangat mulia. Ada yang jatuh cinta karena seringnya bersama. Dan yang terakhir inilah yang sering dialami anak manusia. Kalau pepatah jawanya mengatakan tresno jalaran soko kulino.
Entah, apakah yang kurasakan saat ini juga tergolong ke dalam cinta yang mana. Aku yakin bahkan pengamat cinta kelas dunia sekalipun, atau Kahlil Gibran sang pujangga cinta terbesar sepanjang masa tidak dapat menelaah penyakit cinta apakah yang aku derita saat ini. Aku mabuk oleh sesuatu yang tak terbaca oleh naluriku.
Aku mengenalnya satu bulan yang lalu. Termasuk perkenalan yang singkat untuk menuju jenjang perkenalan lebih dalam. Sebuah perkenalan maya, hanya lewat pesan singkat melalui handphone. Aku bahkan belum pernah sekalipun berkenalan dengan seseorang perempuan melalui handphone, apalagi sampai pada perkenalan sedalam ini.
Dia adalah adik tingkatku di kampus. Namun, meskipun berada dalam satu kampus, aku belum pernah sekalipun bertemu dengannya. Bahkan untuk sekedar tahu wajah pun kami belum. Hingga akhirnya aku lulus dan memperoleh gelar sarjanaku, aku belum pernah bertemu dengannya.
Awalnya kami memulai perkenalan saat kami dikenalkan oleh temanku yang juga mengenal dirinya. Itupun hanya bertukar nomor handphone. Aku bilang ke temanku agar meminta izin dulu kepadanya sebelum memberikan nomor handphonenya kepadaku agar tidak terjadi kesalahpahaman. Jujur aku baru kali ini mengenal seseorang hanya lewat media tanpa tahu sosoknya.
Aku memberanikan diri menulis kata demi kata untuk membuka pembicaraan melalui pesan singkat. Aku bingung, sangat bingung. Kata sapaan seperti apa yang seharusnya aku tulis. Aku ingin terlihat sopan. Setidaknya hal ini bisa menjadi kesan buatnya.
Akhirnya, setelah lama menulis, menghapus lalu menulis lagi. Aku dapati satu kalimat yang cocok bagiku untuk kukirimkan padanya.
“Namaku Bagas”.

Bersambung...

TRIK MENCARI BERITA

Written by Siti Lailatul Hajar (Bintang Sahara) on Jumat, 08 Februari 2013 at 21.26


“Anda tidak bisa membaca surat kabar yang sesungguhnya tanpa demokrasi. Dan Anda tidak akan bisa punya demokrasi tanpa surat kabar”
(Alexis de Tocqueville, Politikus Prancis)

“Tujuan pokok jurnalisme adalah menyediakan bagi warga informasi yang akurat dan dapat diandalkan yang mereka butuhkan agar mereka bisa berfungsi dalam sebuah masyarakat yang bebas.”

Tujuannya sama: agar warga selalu mendapat informasi, dan wartawan bertanggungjawab untuk menyediakan informasi akurat dan adil, bebas dari pengaruh luar.

Berita adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang sedang terjadi. Dalam istilah kamus, berita diartikan sebagai: laporan tentang kejadian-kejadian baru-baru, atau informasi yang sebelumnya tidak diketahui.

Kelayakan Berita:

1.      Ketepatan Waktu
apakah sesuatu terjadi baru-baru ini, ataukah kita baru saja mengetahuinya? Dan tergantung pada jenis media; mingguan, harian, bulanan. BREAKING NEWS is the best.

2.      Dampak
Seberapa banyak orang yang terkena dampak kejadian tsb.

3.      Kedekatan
apakah sesuatu itu terjadi dekat dengan kita dan melibatkan warga setempat.

4.      Kontroversi
apakah ada orang yang berbeda pendapat tentang berita ini.

5.      Tokoh penting
Ini untuk memandai adakah orang terkenal yang terlibat dalam berita itu.

6.      Topic pembicaraan
apakah orang-orang saat ini membicarakan hal tersebut.

7.      Keganjilan
apakah kejadian yang akan diliput memiliki ketidak-laziman.

8.      Pelayan public
Beritanya penting dan menarik

9.      Penasaran dan gigih. pendengar yang baik.
Banyak sekali defisini berita atau “news”. Ada yang mengatakan bahwa “news” merupakan singkatan dari empat kata, yakni “north” (utara), “east” (timur), “western” (barat), dan “south” (selatan).

Dari Mana Berita Berasal

Ø  Kejadian yang berlangsung alamiah
Ø  Kegiatan terencana
Ø  Upaya wartawan
Ø  Berkeliling mendengarkan pembicaraan orang
Ø  Melihat arsip dan dokumen

Catatan:
Jangan meremehkan sumber dan berita yang kita dengar.
Berusahalah untuk melatih kesabaran kecil untuk mendapatkan sebuah berita besar.

Terminal Kehidupan; sebuah renungan kecil

Written by Siti Lailatul Hajar (Bintang Sahara) on Kamis, 07 Februari 2013 at 17.03



Hidup ini bagaikan perjalanan panjang yang melewati banyak jalan. Terkadang jalan itu terjal membatu, licin, atau lurus nan mulus. Setiap kali melakukan perjalanan, pastilah kita mampir sejenak. Beristirahat sebentar memulihkan tenaga, mengisi bensin untuk melanjutkan perjalanan. Itulah terminal-terminal yang senantiasa kita mampir.
Apapun yang ada di sekitar kita pun hanyalah sebagai terminal dalam kehidupan kita. Terminal ini hanyalah tempat sementara. Bukan untuk kita tinggal selamanya. Rumah, teman, keluarga, barang berharga yang melekat pada diri, semuanya hanya terminal sementara. Tidak ada yang benar-benar kita miliki seutuhnya. Intinya, tak ada yang benar-benar bersama kita nantinya.
Suatu contoh, orang yang tinggal di Jakarta misalnya, adalah karena orang yang tinggal di daerah tersebut sebelumnya telah tiada. Begitu juga tidak menutup kemungkinan, ia akan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari Jakarta kemudian ia harus tinggal di Australia karena suatu tugas. Lalu, ia harus kembali lagi ke negerinya, Indonesia, dan ditempatkan di Sumatera untuk mengabdikan dirinya. Begitu seterusnya.
Begitupun dengan orang-orang yang menyayangi di sekitar kita. Mereka semua hanyalah terminal kehidupan kita. Tidak selamanya kita akan tinggal besama mereka untuk selamanya. Banyak hal yang mungkin mennyebabkan adanya perpisahan. Jarak, waktu, tempat, bahkan kematian yang tak terduga-duga. Satu orang pergi, datanglah yang lalin. Satu teman menghilang, tumbuhlah seribu teman yang meyayangi kita.
Jelas sudah, tak ada yang abadi di sekitar kita. Itu semua hanya terminal-terminal yang mewarnai kehidupan kita. Meski[un demikian, saat kita bisa menghabiskan waktu bersama orang-orang yang menyayangi kita, cobalah untuk memberikan kasih saying sepenuhnya. Karena sesungguhnya, Tuhan hanya memberikan kesempatan padamu hari ini saja. Esok masih menjadi misteri. Belum tentu, esok atau bahkan nanti kita masih bersama mereka.
So, sayangilah orang-orang yang sekarang menghiasi warna-warni kehidupanmu. Mereka adalah orang-orang terbaik yang Tuhan kirimkan untukmu. Bukan hanya itu, apapun saja namanya yang ada di sekitarmu saat ini, pergunakan dengan sebaik-baiknya. Kepakkan sayapmu untuk terbang lebih tinggi lagi.
Well, intinya syukuri segala yang ada di sekitarmu dan jangan pernah sekalippun untuk menyia-nyiakannya. Berterima kasih atas apa yang Tuhan berikan pada kita dan berterima kasih pada orang-orang yang telah menginspirasi kita. Semua itu amat berharga saat kita menyadarinya.

Satu Hari Saat Aku Bersamamu (Bag. I)

Written by Siti Lailatul Hajar (Bintang Sahara) on Minggu, 03 Februari 2013 at 22.04


SATU

Tahun ini genap sudah 10 tahun aku berada di peratauan ini. Keluar dari rumah, meninggalkan kampung halaman untuk mendapatkan pengalaman dan ilmu pengetahuan. Waktu yang lama tapi juga sangat singkat. Lama apabila digunakan untuk belajar, namun sangat singkat apabila hanya digunakan untuk bermain-main. Kini usiaku 24 tahun, artinya sekitar 14 tahun yang lalu aku mulai menginjakkan kakiku di sini. Sangat muda. Tepatnya sangat belia untuk ukuran seorang perantauan.
Pulau Jawa, begitulah kami di kampung menyebutnya. Karena di kampung kami jarang sekali yang mengetahui seluk beluk daerah Jawa. Hanya tahunya Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat saja. Kota-kota besar dan kecilnya mungkin sering didengar, tapi kadang masih lupa Bandung itu di Jawa mana, Jogja itu di Jawa mana, dan Surabaya itu di Jawa mana. Jadinya, di kampungku semuanya hanya tahu kalau aku selama 10 tahun ini berada di Jawa meskipun tidak tahu tepatnya di mana.
Mula memasuki Jawa tujuanku adalah nyantri di pondok pesantren. Sempat bingung pesantren mana yang akan kujadikan tempat nyantri, semua pondok di Jawa bagus-bagus. Apalagi bila dibandingkan dengan pesantren di kampungku. Wah, sangat jauh bedanya. Bagaikan langit dan bumi. Sehingga keadaan yang demikian membuat penduduk di kampungku beranggapan bahwa kalau nyantri di Jawa nanti kalau kembali pasti hebat ceramah.
Di kampungku orang hanya tahunya di pesantren itu diajari ceramah. Jadi kalau pulang ke kampung pada waktu puasa dan menjelang hari raya Idul Fithri, pasti langganan ceramah tiap malam dan setelah sholat subuh. Aku senang dengan sambutan mereka, tapi kalau melimpahkan semuanya kepadaku pastilah aku tidak sanggup. Sebenarnya bukan tidak sanggup, hanya saja tidak nyaman dengan tetuah kampung yang biasanya bertugas.
Bila di suruh mengimami sholat, aku selalu mempersilahkan imam masjid yang sebenarnya. Aku takut dianggap sok pintar, sok alim dan sok tau segalanya. Padahal ilmuku hanya di ujung pena. Tapi, ya sudahlah. Aku menganggapnya sebagai pengamalan dari ilmu yang kudapatkan. Setidaknya aku berbagi dan menjelaskan sesuatu yang aku pernah belajar. Namun, apabila ada pertanyaan yang sangat sulit untuk kujawab, aku selalu berkata “Maaf, saya belum belajar tentang itu. Coba nanti saya lihat dibuku dan saya tanyakan ke ustadz saya”.
Tapi, namanya juga masyarakat umum. Mereka kadang bertanya aneh-aneh dan sangat sulit untuk dijawab, sementara aku belum cukup berpengalaman dalam hal tersebut. Jadinya, terkadang aku meminta maaf aapabila aku tidak mampu menjawabnya. Malu sebenarnya. Namun, daripada aku menjawab sekenanya dan kemudian salah, lebih baik aku menjawab tidak tahu.
Tamat dari pesantren sebenarnya aku ingin langsung kembali ke rumah, kampung halamanku. Setidaknya bisa melepas kerinduan kepada keluarga yang lama aku tinggalkan. Tapi kata orang, kalau hanya tamatan SMA/Aliyah susah nanti cari kerja. Mulailah aku bingung, mau ambil jurusan apa yang nanti sekiranya bisa untuk mencari kerja namun juga tetap dapat belajar agama untuk memenuhi rasa haus orang-orang di kampungku tentang agama.
Perjalanan nyantri di pondok pesantren tidak terlampau lama, tapi sangat memberi kesan. Kata orang, masa SMA itu masa pencarian jati diri. Masa berani mencoba, jatuh cinta, first kiss, tawuran antar pelajar sampai pada mencoba bagaimana rasanya obat-obatan. Tapi syukurlah, aku dapat melewatinya tanpa terjerumus ke dalam coba-coba itu. Tidak apa-apalah dikatakan kolot karena tidak pernah mengenalnya sama sekali. Karena bagiku, tidak semua hal harus dicoba, termasuk hal-hal di atas.
Dengan seragam batik sekolah dan peci di kepala, aku ingin menegaskan bahwa aku anak Indonesia yang mempunyai akhlak mulia. Meskipun banyak juga yang menggunakan peci sebagai tameng agar dikatakan saleh. Sejak diakuinya batik sebagai salah satu kebudayaan Indonesia, aku tidak lagi menyembunyikan seragam batik lusuhku di balik jacket atau sweeter. Kini aku sangat bangga meskipun batik ini relatif sudah tidak layak pakai. Maklum ini adalah warisan dari kakak kelas, sudah enam tahun dipakai.
Aku memang suka membaca sejak kecil. Bukan karena semboyan buku adalah jendela dunia saja, tapi membaca bagiku adalah kewajiban seorang penuntut ilmu. Buku adalah ilmu dan pengetahuan yang diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Mereka telah menemukan banyak hal, menciptakan banyak hal dan kita harus bisa mengambil semangat itu. Dan kini kewajiban mereka telah selesai, berganti kewajiban kita untuk mengabdi dan memberi sesuatu kepada zaman yang kita hidup di dalamnya.
Aku suka membaca sastra. Membaca sastra bagiku bukan sekedar kegiata membaca, tapi keberpihakan. Dengan membaca sastra perlahan aku belajar membentuk diri dari beberapa tokoh yang ada di dalamnya. Dan aku pun bebas mau menjadi tokoh utama atau sekedar piguran. Hidup itu soal pilihan dan keberpihakan. Hitam dan putih harus selalu seiring sejalan dalam kehidupan.
Sastra juga mengajariku berlaku lembut, tapi bukan berarti kemayu dan cengeng. Sastra mengajariku bagaimana menjadi seseorang yang dicintai orang banyak, setidaknya tidak terlalu banyak yang membenci. Bahkan, aku ingin sekali ada yang menceritakan diriku ke dalam sebuah cerita sastra. Menceritakan kehidupanku.
***

Bersambung..

PUISI ANAK-ANAK

Written by Siti Lailatul Hajar (Bintang Sahara) on at 05.55


Puisi ini disenandungkan oleh seorang santri TPQ Manarul Huda dalam memperingati acara Gebyar Muharram.
PUISI TANPA JUDUL

Aku seorang santri
TPQ Manarul Huda
Setiap hari ku langkahkan kaki
Untuk mengaji dan berbakti

Baktiku pada orang tua
Baktiku pada ustadz/ ustadzah
Juga pada nusa dan bangsa
Demi Islam yang mulia

Tak kan ku sia-siakan waktuku
Tak kan ku biarkan orang tuaku bersedih
Dan tak kan ku biarkan ustadzku merintih

Hanya karena melihatku
Menjadi pemalas
Hanya karena aku tak belajar
Apalagi tak sholat
Aku tak ingin mendapat laknat

Ibuku, Ayahku, Ustadzku…
Terima kasih telah membimbingku
Dan aku akan terus berpacuagar menjadi anak yang berakhlak dan berilmu

Pages

@suryacinta. Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Our Partners

Categories

Resources

Bookmarks

Bintang Sahara

Semua lebih berarti, apabila dihayati.